Kamis, 06 Januari 2011

Aneka Pendekatan Dalam Studi Islam

Untuk memahami ajaran Islam secara komprehensif, diperlukan pandangan yang syumul terhadap berbagai aspek yang meliputi agama itu sendiri. Di samping itu, terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk mendekati dan menemukan kejelasan dalam studi Islam. 
Berikut adalah beberapa bentuk pendekatan dalam studi Islam yang akan saya deskripsikan secara singkat dan padat.
a. Pendekatan Psikologis
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamati. Dalam kaitannya dengan studi agama, maka pendekatan Psikologis dapat diartikan sebagai penarapan metode-metode dan data psikologis ke dalam studi tentang keyakianan dan pemahaman keagamaan untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang, atau dengan kata lain, pendekatan psikologis merupakan pendekatan keagamaan yang menggunakan paradigma dan teori-teori psikologis dalan memahami agama dan sikap keagamaan seseorang.
Salah satu cara yang dapat diterapkan dalam pendekatan ini adalah dengan cara mempelajari jiwa seseorang melalui perilaku yang tampak yang mungkin saja dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Dalam hal ini, pendekatan psikologis tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama atau keyakinan yang dianut seseorang, melainkan dengan mementingkan bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Pendekatan ini dapat dilakukan ketika berhadapan dengan masalah sikap dan perilaku yang ditampakkan oleh para pemeluk agama. Penerapan pendekatan ini dalam studi Islam dapat dilihat, misalnya pada pengaruh yang ditimbulkan oleh ibadah puasa, dan haji terhadap perilaku yang nampak setelah ibadah tersebut dilakukan.
b. Pendekatan Sosiologis
Sosiologis adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan demikian, pendekatan sosiologis dalam studi agama dapat didefinisikan sebagai cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam disiplin ilmu sosiologis dan selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hal ini, pendekatan sosiologis adalah bersifat deduktif.
Pendekatan Sosiologis ini dapat diterapkan ketika berhadapan dengan objek atau persoalan-persoalan yang berkaitan dengan masalah sosial atau untuk melihat berbagai gejala sosial, seperti masalah muamalah (interkasi antar manusia). Contoh studi Islam yang menggunakan pendekatan ini adalah adanya kenyataan bahwa apabila urusan ibadah bersamaan dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah tersebut boleh diringkas bahkan ditangguhkan (bukan berarti ditinggalkan, seperti bolehnya meng-qasar shalat dan tidak berpuasa ketika bepergian jauh, dan lain sebagainya.
c. Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pedekatan ini, maka dapat dilihat bahwa agama ternyata memiliki hubungan dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi masyarakat. Antropologi dalam kaitannya sebagai pendekatan lebih mengutamakan pengamatan langsung, bersifat partisipatif dan menimbulkan kesimpulan-kesimpulan yang induktif.
Sama seperti pendekatan lainnya di atas, pendekatan ini dapat diterapkna pada masalah-masalah keagamaan yang menyangkut pada wilayah antropologis, serta dilakukan ketika ingin berupaya untuk mengetahui latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan dirumuskan serta untuk melihat hubungan antara agama dengan berbagai pranata sosial yang terjadi di masyarakat.
Salah satu contoh dari bentuk pendekatan antropologis dalam agama adalah penelitian yang dilakukan oleh Cliford Geertz yang dilakukan pada masyarakat Jawa serta menemukan adanya tiga kelompok (kelas) keagamaan pada masyarakat Jawa, yaitu, Abangan, Santri dan Priyayi.
d. Pendekatan Historis
Pendekatan historis adalah suatu upaya untuk dapat memahami agama dengan cara memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang dan pelaku yang terdapat dalam sebuah peristiwa. Sehingga dengan demikian, secara sederhana pendekatan historis dapat pula disebut sebagai sebuah pendekatan yang meninjau suatu permasalahan dari sudut pandang sejarah, dan menjawab permasalahan serta menganalisisnya dengan menggunakan metode analisis sejarah.
Pendekatan ini dapat dilakukan ketika menginginkan sebuah pengetahuan keagamaan yang komprehensif dan yang sebenarnya tentang suatu peristiwa atau pemahaman kegamaan, dan tentunya pada persoalan-persoalan yang mempunyai sisi-sisi sejarah (tidak bersifat a historis), seperti studi tentang munculnya sebuah teks, (termasuk teks-teks sakral semisal Al-qur`an dan Hadits ), timbulnya sebuah fatwa keagamaan dan lain sebagainya.
Adapun contoh tema studi Islam yang menggunakan pendekatan ini misalnya tergambar pada penggunaan ilmu Asbab al- nuzul yang pada intinya berkenaan dengan sejarah turunnya ayat-ayat Al-qur`an, serta penelitian yang dilakukan oleh Kuntowijoyo yang kemudian menyimpulkan bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian, bagian pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam konteks pendekatan dalam studi agama, perlu digarisbawahi bahwa penggunaan pendekatan-pendekatan tersebut tidak ditujukan untuk menguji kebenaran aspek esensi ajaran agama, khususnya Islam yang bersumber dari Al-qur`an dan hadits, karena dua sumber tersebut mutlak diakui kebenarannya. Akan tetapi, penggunaan beberapa pendekatan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kebenaran aspek lahiriah atau aspek pengamalan dari ajaran agama yang bersumber dari wahyu tersebut.

MAKNA HIJRAH


Oleh: Prof. DR. M. Quraish Shihab, MA
(Direktur Pusat Studi al-Qur’an (PSQ) – Lentera Hati)


Peristiwa hijrah Nabi Saw. pernah disitir dalam sebuah hadits tentang niat, “Setiap pekerjaan pasti disertai oleh niat.  Maka, barangsiapa hijrahnya didorong oleh niat karena Allah, hijrahnya akan dinilai demikian.  Dan barangsiapa berhijrah didorong oleh keinginan mendapatkan keuntungan duniawi atau karena ingin mengawini seorang wanita,  maka hijrahnya dinilai sesuai dengan tujuan tersebut.”  Ketika beliau dan para sahabat berhijrah, motivasi mereka adalah guna memperoleh ridha Allah Swt, yang diyakini Mahakuasa dan Mahabijaksana.  Walau menjelang hijrah kaum musilm berada pada posisi yang sangat lemah dan teraniaya, namun keyakinan mereka akan datangnya kemenangan tidak pernah sirna.  Hal ini disebabkan karena pokok pertama yang ditanamkan Rasul Saw. kepada para sahabatnya – jauh sebelum hijrah – adalah keimanan kepada Allah Swt, yang bukan saja sebagai ajaran dasar tetapi juga sebagai benteng manusia dan mengantarkan mereka kepada optimisme.

Muhammad Rasyid Ridha menulis dalam Tafsir al-Manar: “Iman membangkitkan sinar dalam akal, sehingga bisa menjadi petunjuk jalan ketika berjumpa dengan gelap keraguan.  Dengan iman, seseorang akan mudah mengatasi batu penghalang yang dapat menjatuhkannya ke jurang kebinasaan.  Iman menumbuhkan dalam diri manusia suatu pusat kontrol atas tiap detak-detak hati yang terlintas dan setiap pandangan yang terbentang.  Dengan iman, seseorang dapat melihat tembus sesuatu yang tersirat dari kulit yang tersurat.  Demikian itulah, Tuhan tidak menghasilkan sesuatu yang baik kecuali dari yang baik pula.”

Pelaksanaan hijrah dilakukan oleh Rasulullah Saw. selain karena ada wahyu dari Allah Swt, juga secara sosial dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat Makkah waktu itu yang sudah mengalami kegelisahan kolektif dan kemudian mengakibatkan keruntuhan tatanan masyarakat salah satu kota suci di jazirah Arab tersebut dalam perjalanan sejarahnya.

Yang terlibat dalam pelaksanaan Hijrah yang dilakukan pada malam hari tersebut, selain Rasulullah Saw, antara lain: Abu Bakar (pemilik Unta) dan Abdullah al-Qaraiki (seorang Nasrani) yang menemani beliau sampai kota Madinah, Ali bin Abi Thalib yang menggantikan posisi beliau tidur di kasurnya, dan Siti ‘Aisyah yang menyediakan perbekalan mereka.  Unta yang digunakan untuk hijrah itu dibeli dari Abu Bakar, padahal sebenarnya sengaja dihadiahkan untuk beliau, namun beliau justru membayarnya.

Kata “Hijrah” disebutkan sebanyak 35 kali di dalam al-Qur’an, yang diantaranya terkait dengan berbagai peristiwa para nabi.  Yang menarik, dalam beberapa peristiwa yang menceritakan para nabi selain Nabi Muhammad Saw, mereka menggunakan lafal “aku” ketika menjelaskan kepada kaumnya bahwa Tuhan bersamanya saat dikejar-kejar pasukan Raja Fir’aun, sedangkan beliau menegaskan degan lafal “kita” ketika menenangkan para sahabat saat bersembunyi di Gua Tsur untuk menghindari kejaran kaum Quraisy yang telah berdiri di mulut gua tersebut; “Jangan kuatir dan jangan bersedih.  Sesungguhnya Allah bersama kita” (QS.9:40).  Selain itu, penegasan Rasul Saw. dalam ayat ini mengindikasikan sikap tawakal kepada Allah Swt. akan apa yang terjadi nanti (hasilnya), setelah berusaha maksimal untuk melakukan yang terbaik.

Nah, dari peristiwa tersebut di atas bisa diambil beberapa pelajaran berharga, antara lain: Pertama, kesadaran Nabi Saw. untuk membayar unta yang ditawarkan Abu Bakar merupakan cerminan dari sikap yang tidak setengah-setengah dalam melakukan perjuangan.  Beliau ingin mengajarkan bahwa untuk mencapai suatu usaha besar dibutuhkan pengorbanan maksimal dari setiap orang, dengan segala daya yang dimilikinya, tenaga, pikiran, dan materi, bahkan dengan jiwa dan raga sekalipun.

Kedua, keterlibatan berbagai pihak dalam perjalanan Hijrah Rasul Saw. mengindikasikan bahwa semestinya sebuah perjuangan dilakukan secara bersama-sama dengan menggalang segala potensi yang ada dalam sebuah komunitas, bahkan dengan pihak yang berlainan akidah sekalipun.  Begitu juga dengan penegasan Rasulullah Saw. bahwa “Allah bersama kita”, yang meniscayakan “prinsip kebersamaan” dalam Islam.

Ketiga, kegelisahan kolektif suatu masyarakat bisa mengakibatkan keruntuhan tatanan masyarakat tersebut, bila tidak diambil solusi yang tepat dan cepat dalam melakukan transformasi sosial menjuju ke arah yang lebih baik.  Nah, bila dalam al-Qur’an disebutkan bahwa “Sesungguhnya kepada Tuhanlah tempat kembali” (QS.96:8), itu artinya transformasi sosial yang dimaksud merupakan upaya merujukkan kembali segala sousi yang kita ambil, baik pada tingkat individual, komunal, maupun sosial, kepada nilai-nilai kemanusiaan universal yang berlandaskan asas ketuhanan dalam Islam (rahmatan lil ‘alamin).

Keempat, setelah upaya maksimal dalam melakukan perbaikan (hijrah), maka yang dibutuhkan dalah sikap tawakkal, yakni meyerahkan hasil semuanya kepada Tuhan, seraya tanpa henti terus berikhtiar dan menyempurnakannya.  Dua point terakhir inilah sejatinya merupakan signifikasi dari pondasi dasar keimanan yang dimaksud pada penjelasan awal di atas.  Wallahu A’lam bishshawwab.

Sumber: Lentera Hati, bulletin PSQ edisi 03/Maret-April 2005



MADURA MENURUT CACATAN SEJARAH SEMANGAT BERJUANG MELAWAN PENINDASAN DAN PENJAJAHAN

Sejak jaman dahulu kala, orang-orang Madura memiliki semangat untuk melawan segala bentuk penindasan dan penjajahan baik yang dilakukan oleh kekuasaan dan kekuatan dari luar. Ha tersebut dapat kita ketahui baik dari legenda-legenda yang berkembang di kalangan rakyat Madura maupun buku-buku/tulisan-tulisan dan laporan-laporan penguasa yang pernah memerintah Pulau Madura.

1. Menurut cerita jaman kuno (± abad pertama Masehi), yang ditulis diatas daun
lontar, pada suatu saat kerajaan Mendangkawulan kedatangan musuh dari negeri Cina. Didalam peperangan tersebut Mendangkawulan berkali-kali menderita kekalahan, sehingga kedatangan seorang yang sangat tua dan berkata bahwa di Pulau Madu Oro (Madura) bertempat tinggal anak muda bernama Raden Segoro (Segoro = laut). Raja dianjurkan minta bantuan kepada Raden Segoro jika didalam peperangan ingin menang. Raden Segoro berangkat dengan membawa senjata Si Nengolo dan berperanglah untuk mengusir tentara Cina. Tentara musuh banyak yang tewas dan kerajaan Mendangkawulan menang dalam peperangan.

2. Cerita lain tentang kepahlawanan oerang-orang Madura, ialah terjadi sekitar berdirinya kerajaan Majapahit dalam abad ke 13, orang Maduralah yang membuka hutan Tarik dan mendapat bauh maja yang pahit, sehingga daerah baru tersebut disebut Majapahit. Tokoh-tokoh Madura diantaranya ialah Wiraraja, Lembu Sora, Ranggalawe, yang membantu Raden Wijaya sehingga mencapai punjak keberhasilannya dalam mendirikan kerajaan. Sewaktu Raden Wijaya dikejar oleh tentara Jayakatwang dan kerajaan Singosari runtuh, ia mengungsi ke Sumenep minta perlindungan dan bantuan kepada Raden Wiraraja dan sang Adipati Madura inilah yang menyusun rencana agar Raden Wijaya pewaris tahtakerajaan Singosari dapat kembali berkuasa. Memang Wiraraja atau yang disebut Banyak Wide adalah aktor intelektualitas yang memenangkan perang terhadap tentara Tartar yang dikirim oleh Kubelai Khan untuk menaklukkan kerajaan Jawa. Tentara Tartar mengalahkan kerajaan Jayakatwang Kediri,tetapi tentara Tartar ini pula dihancurkan oleh Raden Wijaya dengan bantuan orang-orang Madura yang bersemangat tinggi dalam berperang untuk mengusir musuh.

3. Peristiwa lain terjadi disekitar abad ke 15, ketika Dempo Awang (Sam Poo Tualang) seorang Panglima Perang dari Negeri Cina nenunjukkan kekuasaannya kepada raja-raja di Jawa dan Madura, agar mereka tunduk kepadanya. Didalam peperangan itu, Jokotole dari Madura melawan Dempo Awang yang menaiki kapal layar yang dapatberlayar di laut, diatas gunung diantara bumi dan langit. Demikian menurut cerita legenda. Didalam peperangan itu Jokotole mengendarai Kuda Terbang, pada suatu saat setelah ia mendengar suara dari pamannya (Adirasa), yang berkata "pukul", maka Jokotole menahan kekang kudanya dengan keras dan ia menoleh sambil memukul cemeti (cambuknya) mengenai musuhnya sehingga hancur luluh jatuh berantakan Menurut kepercayaan orang bahwa kapal Dampo Awang tersebut hancur luluh ketanah tepat di atas Bancaran (artinya, bâncarlaan), Bangkalan. Sementara Piring Dampo Awang jatuh di Ujung Piring yang sekarang menjadi nama desa di Kecamatan Kota Bangkalan. Sedangkan jangkarnya jatuh di Desa/Kecamatan Socah. Dan menurut cerita bahwa Sam Poo Tualang tersebut adalah seorang Laksamana Cina yang bernama Cheng Hoo.

4. Sewaktu Sultan Agung memimpin Mataram, Ia menjalankan politik pemerintahan untuk mempersatukan Jawa dan Madura, bahkan ingin mempersatukan seluruh kepulauan Nusantara, agar Kompeni sukar melebarkan sayapnya. Karena itu Sultan Agung kadang-kadang menjalankan politik kekerasan. Dalam tahun 1614 Surabaya ditaklukkakn, demikian pula Pasuruan dan Tuban. Akhirnya dalam tahun 1624, Madura mendapat giliran. Pendekatan yang kurang bijaksana menimbulkan peperangan yang dahsyat. Tentara Madura yang berjumlah 2.000 orang melawan pasukan Mataram yang berjumlah 50.000 orang. Perjuangan Rakyat Madura menunjukkan keberanian yang luar biasa, baik pria maupun wanita maju ke garis depan. Sebanyak 6.000 orang tentara Mataram dapat ditewaskan, tetapi Sultan Agung tidak putus asa, yang gugur segera diganti. Akhirnya Madura dapat ditaklukkan. Satu-satunya keturunan raja Madura yang masih hidup adalah Raden Praseno yang masih belum dewasa. Ia dibawa ke Mataram oleh Sultan Agung dan setelh dewasa dikawinkan dengan salah seorang putri adik Raja Mataram.
Dalam jaman Sultan Agung, Mataram ditakuti oleh Kompeni Belanda, tetapi setelah Amangkurat I berkuasa, Kompeni menjalankan politik pecah belah dan Amangkurat I tidak mempunyai kewibawaan. Pangeran Alit (adiknya sendiri) dicurigai dan diperintahkan untuk ditangkap dan dibunuh. Raden Maluyo ayah dari Trunojoyo juga menjadi korman. Akhirnya juga Cakraningrat I (Raden Praseno), penasehat umum kerajaan menjadi korban pembersihan. Trunojoyo maju ke depan hanya karena terdorong untuk membasmi ketidakadilan, kemungkaran dan anti penjajahan. Bukan kekuasaan dan kedudukan yang menjadi tujuan hidup Trunojoyo, dan ini terbukti waktu mahkota kerajaan Majapahit ada ditangan kekuasaannya. Mahkota ini secara turun-temurun jatuh ketangan raja-raja yang menguasai Jawa. Trunojoyo tidak pernah menempatkan mahkota Majapahit diatas kepalanya, pun juga tidak pernah menamakan dirinya sebagai Sesuhunan. Mahkota yang ada ditangannya dikembalikan kepada Susuhunan, asal saja Susuhunan mau ke Kediri dengan tidak berteman dengan Belanda (artinya : Amangkurat II diminta untuk memutuskan hubungannya dengan Belanda).

5. Dalam abad ke 18 Kompeni Belanda mengadakan pembatasan-pembatasan serta penindasan-penindasan yang makin merajalela terhadap kekuasaan raja-raja dan rakyat Madura, sehingga di Madura Barat telah terjadi suatu perlawanan yang dipimpin oleh Cakraningrat IV. Tetapi perlawanan tersebut dapat dipatahkan karena Kompeni mendatangkan bala bantuan dari Batavia. Cakraningrat IV terus menyingkir ke Banjarmasin, tetapi akhirnya tertangkap pula disana, Cakraningrat IV terus dikirim ke Kaap de Goede Hoop, dan ia meninggal dunia disana pada tahun 1759. Orang Madura memberinya nama Pangeran Sidengkap, karena Cakraningrat IV meninggal dunia di tempat pengasingannya yakni Kaap de Goede Hoop.

6. Dalam masa pemerintahan Jepang, sejak tanggal 18 Agustus 1942, kekejaman tentara Jepang yang menginjak-nginjak nilai dan martabat rakyat Madura, serta keangkaramurkaannyatelah menimbulkan penderitaan yang membebani rakyat, sehingga ada tahun 1943 telah berkobar suatu pemberontakandi Desa Prajan, Sampang yang dipimpin pesantren setempat. Kemudian ia dan serta pemimpin-pemimpin pesantren lainnya ditangkap dan ditembak mati. Akhirnya atas campur tangan Panglima Tentara Jepang (Seiko Sisikan) di Jakarta, mereka yang masih ditahan dibebaskan kembali dan pembantaian lebih lanjut dapat dihentikan.

Dikutip dari :
Buku Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Madura

Rabu, 29 Desember 2010

ULAMA DAN FATWA (Menelusuri Kelahiran Sebuah Fatwa)


Oleh:      Bukhori[1]
Di kalangan Islam,khususnya yang sering bergumul dengan masalah hukun Islam,tentu istilah fatwa sudah tidak asing lagi dan begitu familiar. Fatwa - yang secara sederhana dapat diartikan sebagai proses penetapan status hukum (vonis) terhadap suatu persoalan- sering kali kita temukan, bahkan tidak jarang kita membaca fatwa-fatwa yang terbilang menghebohkan.
Sebut saja misalnya, fatwa sebagian besar ulama Saudi yang mengharamkan perempuan untuk menyetir mobil. Beberapa ulama Saudi juga melarang perempuan memakai “bra” karena hal itu bisa menipu laki-laki, seolah-olah dia memiliki payudara yang besar, padahal belum tentu demikian, dan karena itu bisa dianggap sebagai menipu. Bahkan menurut laporan media, pada tahun 2009 di Somalia pernah diadakan semacam razia oleh kelompok Islam garis keras terhadap wanita yang memakai “bra” /BH. Bagi mereka yang kedapatan memakainya akan dikenakan hukuman cambuk dan dipaksa untuk membuka bra yang mereka pakai pada saat itu juga.   
Begitu juga perempuan diharaman memakai sepatu dengan hak tinggi, lagi-lagi dengan alasan penipuan: dengan sepatu berhak tinggi, perempuan tampak lebih
tinggi dari aslinya, dan itu menipu. Kalau hal ini diterus-teruskan, tidak mustahil perempuan juga akan dilarang berhias, dan berbedak dan sebagainya, karena hal ini juga dapat dianggap sebagai penipuan terhadap laki-laki, wanita tampak lebih cantik dari aslinya.
Fatwa-fatwa tersebut dianggap oleh banyak kalangan sebagai tindakan sewenang-wenang dan penindasan terhadap wanita yang tidak dapat ditolelir. Begitu juga pendapat atau fatwa keagamaan bahwa wanita harus berdo`a atau sholat ditempat yang paling tersembunyi, wanita harus menyerahkan segenap jiwa raganya kepada suami kapanpun suaminya menghendaki. Fatwa-fatwa yang berlindung di baawh teks (nash) mengklain bahwa itulah sebenarnya yang dikehendaki oleh Tuhan
Di Indonesia sendiri, fatwa heboh juga penah kita jumpai dari waktu ke waktu. Misalnya Majlis Ulama Indonesia (MUI), mengharamkan seorang Muslim mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen, dan fatwa keharaman menggunakan situs jejaring sosial facebook  yang dikeluarkan oleh sekelompok muslim di Indonesia.
Lantas, bagaimana kita melihat dan bersikap dalam menghadapi fatwa-fatwa heboh seperti ini?  
Pertama-tama, yang harus dipahami oleh umat Islam, dan juga umat lain yang hendak memahami dinamika internal dalam umat Islam, apa yang disebut sebagai fatwa bukanlah semacam surat ensiklik dari Vatikan yang harus ditaati oleh seluruh umat. Berbeda dengan agama Katolik, Islam tidak mengenal lembaga klerikal yang terpusat yang menentukan kata putus dalam segala hal yang berurusan dengan soal agama. Dalam Islam tak dikenal lembaga terpusat yang bisa memaksakan satu pendapat kepada seluruh umat. Sebuah fatwa, meskipun dikeluarkan oleh ratusan atau (bahkan) ribuan ulama, tetap saja hanyalah sebuah pendapat saja. Umat boleh mengikuti, boleh pula mengabaikan. Sebuah fatwa bisa ditentang oleh fatwa lain.     
Selanjutnya, dengan menyoroti secara lebih tajam bagimana mekanisme perumusan dan pengambilan fatwa-fatwa dilakukan, baik oleh pribadi-pribadi, maupun oleh lembaga-lembaga keagamaan, baik yang bersifat partikulir maupun yang kolektif.
        Bagaimana sebenarnya sebuah fatwa dilahirkan? Prosesnya sangat sederhana, meskipun dalam praktek tentu tidak sesederhana gambarkan ini. Setidaknya, fatwa lahir melalui proses berikut ini. Jika seorang ulama ditanya, apa kata hukum Islam mengenai kasus A atau B, dia akan mencari teks atau ketentuan dalam Quran atau hadis yang berkenaan dengan kasus itu. Jika terdapat jawaban dalam kedua sumber itu, maka biasanya dia akan memakai ketetapan yang ada.
Jika ada kasus yang baru sama sekali sehingga tak ada keterangan apapun mengenainya baik dalam Quran atau hadis, maka proses yang biasa dilakukan oleh seorang mufti atau ulama pembuat fatwa adalah ber-ijtihad atau menalar.Namun, Banyak sekali  kasus yang muncul saat ini tidak ada ketentuannya dalam Al-Quran dan sunnah, sehingga ulama harus melakukan ijtihad sendiri untuk menentukan hukumnya.
Contoh konkritnya seperti situs jejaring social facebook yang diharamkan oleh sekelompok santri dan sebagian ulama di Jawa Timur. Jelas dalam Al-Quran dan sunnah tak ada ketentuan yang eksplisit tentang haramnya facebook. Jika pada akhirnya para santri tersebut mengharamkannya untuk dipraktekkan oleh umat Islam, maka pendapat itu adalah hasil penalaran sendiri. Tentu bukan penalaran yang bergerak bebas; sudah tentu mereka itu mendasarkan penalarannya atas ketentuan-ketentuan umum dalam Quran dan sunnah.
Tetapi ulama yang lain, dengan memakai ketentuan-ketentuan umum serupa, bisa datang dengan pendapat lain yang berbeda. Bukan saja itu, ulama yang sama bisa memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam soal yang sama. Ini bisa kita baca dalam buku-buku fikih perbandingan mazhab di mana sering kita jumpai pendapat yang berbeda-beda dari Imam Syafii (pendiri mazhab Syafii yang banyak diikuti di Asia Tenggara) atau Imam Malik (pendiri mazhab Maliki yang banyak diikuti di Afrika Utara) mengenai masalah yang sama.
Satu hal yang tidak dapat dihindari oleh siapapun bahwa sebuah fatwa tetap mengacu dan selalu bertumpu pada teks (kitabah qauliyah), sedang teks itu sendiri sepenuhnya bersandar pada bahasa. Bahasa inilah yang menjadi sumber silang pendapat sepanjang masa karena ia merupakan hasil kesepakatan dan budaya manusia. Ketika seseorang menggunakan bahasa sebagai media untuk berkomunikasi atau menuangkan buah pikirannya, secara otomatis dia harus memahami keterbatasan-keterbatasan yang melekat di dalamnya. 
         Oleh karena kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dalam menentukan makna teks, maka pemahaman teks tidak dapat ditentukan oleh pihak manapun. Pemahaman teks seharusnya merupakan produk interaksi yang hidup antara pengarang (author), teks (text) dan pembaca (reader). Dan disisnilah sebenarnya letak ijtihad, yaitu dengan adanya interaksi dan peran aktif antara ketiga elemen tersebut.
        Untuk mencegah dan menghindarkan diri dari hal tersebut, maka menurut menurut Khaled Abuo Elfadl ada lima persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu kemampuan untuk mengontrol dan mengendalikan diri (restrain), tulus hati (diligence), mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait (comprehensiveness), mendahulukan tindakan yang masuk akal (reasonableness), dan kejujuran (honest).
Meskipun para ulama fikih mengatakan bahwa ijithad dalam Islam diikat oleh metode dan prosedur tertentu yang kurang lebih baku, tetapi jelas hasil ijtihad
seorang ulama sangat ditentukan oleh banyak faktor, termasuk faktor-faktor di luar pertimbangan agama. ”Mind-set”, paradigma berpikir dan kecenderungan intelektual ulama bersangkutan juga menentukan hasil akhir dari suatu ijtihad. Bahkan latar belakang sosial-budaya dari ulama itu juga ikut mewarnai proses berijtihad yang ia lakukan.
Jangan pula dilupakan, kedudukan sosial ulama juga ikut mewarnai pendapat dan fatwa seseorang. Ulama yang berada dan dekat dengan kekuasaan boleh jadi
mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan ulama yang ada di luar atau malah anti-kekuasaan.
Kelemahan praktek ijtihad yang berlangsung di kalangan ulama Islam selama ini adalah bahwa seolah-olah proses ijithad melulu dituntun dan dikendalikan oleh
metode ijtihad yang ada, tanpa adanya pengaruh eksternal; seolah-olah seorang ulama adalah subyek otonom yang berada di luar jejaring kepentingan sosial yang bekerja dalam masyarakat.
Dengan melihat proses fatwa seperti itu, maka setidaknya kita dapat menempatkan fatwa secara proporsional. Apa yang disebut sebagai fatwa adalah cendrung sebagai “legal opinion”, pendapat hukum. Fatwa mengenai kasus tertentu tidak berarti langsung menjadi kata pamungkas dalam kasus tersebut, sebab ulama atau sarjana lain bisa memiliki pendapat yang berbeda.
Contoh yang masih aktual adalah persoalan keharaman merokok. Meskipun MUI dan Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa haram merokok, tetapi banyak umat Islam, terutama dari kalangan Nahdlatul Ulama yang bersebrangan dan tidak mengikuti fatwa itu. Mereka tidak mengikuti fatwa itu buka karena tak tahu atau tahu tetapi tak mau mengikuti. Akan tetapi mereka “membangkang” terhadap fatwa MUI itu sebab ada ulama lain yang berpendapat bahwa merokok -seperti yang telah lazim dilakukan oleh umat muslim di Indonesia- merupakan masalah yang multi tafsir dan tidak mengandung mafsadat yang dapat meusak tubuh secara langsung.
Dengan kata lain, umat bukanlah obyek pasif yang menerima fatwa apa adanya tanpa berpikir kritis. Tantangan umat Islam ke depan adalah bagaimana terus-menerus memberdayakan umat, bukan saja secara ekonomi (itu juga penting), tetapi juga dalam aspek berpikir sehingga daya kritis mereka terus meningkat dan dengan demikian dapat menilai fatwa-fatwa ulama secara lebih jeli dan hati-hati. Pendapat ulama jelas bukan pendapat suci yang tak bisa “diinterogasi” secara kritis.
Tidak semua orang kompeten untuk mengeluarkan sebuah fatwa. Tetapi setiap orang berhak menilai apakah sebuah fatwa masuk akal atau tidak, apalagi jika fatwa itu menyangkut kehidupan masyarakat banyak. Keadaanya tidak beda dengan produk hukum sekuler biasa: anda tak perlu menjadi sarjana hukum untuk menilai apakah suatu produk hukum tertentu masuk akal atau tidak. Begitu juga, anda tak perlu menjadi seorang ahli hukum Islam untuk menilai apakah sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh ulama atau lembaga ulama tertentu masuk akal atau tidak.
Fatwa bisa saja bahkan terkadang harus dikeluarkan dan dilahirkan oleh para ulama, tetapi memberangus perbedaan dengan alasan bahwa pendapat tertentu bertentangan dengan “fatwa” dari seorang atau lembaga ulama dan karena itu sesat, jelas tak masuk akal dan kontradiktif dengan hukum masyarakat.[2]



1 Penulis adalah Alumnus Pondok Pesantren Miftahul Ulum
[2] Tulisan ini diramu dan diadaptasi kembali dari beberapa sumber

NEGARA ISLAM, ADAKAH KONSEPNYA?


Oleh : Abdurrahman Wahid
ADALAH pertanyaan amat menarik untuk diketahui jawabannya, apakah sebenarnya konsep Islam tentang negara? Sampai seberapa jauh hal ini dirasakan kalangan pemikir Islam sendiri? Apakah konsekuensi dari konsep ini bila memang ada? Lalu, apakah konsekuensi dari konsep itu sendiri? Rangkaian pertanyaan itu perlu diajukan di sini, karena dalam beberapa tahun terakhir ini banyak diajukan pemikiran tentang Negara Islam, yang berimplikasi pada orang yang tidak menggunakan pemikiran itu, telah meninggalkan Islam.
Jawaban-jawaban atas rangkaian pertanyaan itu dapat disederhanakan dalam pandangan penulis dengan kata-kata: tidak ada. Penulis beranggapan, Islam sebagai jalan hidup (syari'ah) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Mengapa penulis beranggapan demikian? Karena sepanjang hidupnya, penulis telah mencari dengan sia-sia makhluk yang dinamakan Negara Islam. Sampai hari ini pun belum ditemukan. Jadi, salahlah jika disimpulkan memang Islam tidak memiliki konsep bagaimana negara harus dibuat dan dipertahankan.
Dasar dari jawaban itu adalah tiadanya pendapat baku dalam dunia Islam tentang dua hal. Pertama, Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian pemimpin. Rasulullah SAW digantikan Sayyidina Abu Bakar-tiga hari setelah beliau wafat. Selama masa itu masyarakat kaum muslimin, minimal di Madinah, menunggu dengan sabar bagaimana kelangkaan petunjuk tentang hal itu dipecahkan. Setelah tiga hari, semua bersepakat bahwa Sayyidina Abu Bakar-lah yang menggantikan Rasulullah SAW melalui bai'at/prasetia. Janji itu disampaikan para kepala suku/wakil-wakil mereka. Dengan demikian, terhindarlah kaum muslimin dari malapetaka.
Sayyidina Abu Bakar sebelum meninggal dunia, menyatakan kepada komunitas kaum muslimin, hendaknya Umar Bin Khattab yang diangkat menggantikan beliau, yang berarti telah ditempuh cara penunjukkan pengganti, sebelum yang digantikan wafat. Ini tentu sama dengan penunjukkan seorang Wakil Presiden di masa modern ini, yang harus menyiapkan diri untuk mengisi jabatan itu jika berpindah ke tangannya.
Ketika Umar ditikam Abdurrahman bin Muljam dan ada di akhir masa hidupnya, ia meminta agar ditunjuk sebuah dewan pemilih/electoral college (ahl halli wa al-aqdhi), yang terdiri dari tujuh orang, termasuk anaknya, Abdullah, yang tidak boleh dipilih menjadi pengganti beliau. Lalu, bersepakatlah mereka untuk mengangkat Ustman bin Affan sebagai kepala negara/kepala pemerintahan. Untuk selanjutnya, Ustman digantikan Ali bin Abi Thalib. Saat itu, Abu Sufyan sedang menyiapkan anak cucunya untuk mengisi jabatan itu, sebagai pengganti Ali bin Abi Thalib. Lahirlah dengan demikian, sistem kerajaan dengan sebuah marga yang menurunkan calon-calon raja/sultan dalam Islam.

***

DEMIKIAN pula, besarnya negara yang dikonsepkan menurut Islam, juga tidak jelas ukurannya. Nabi meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum muslimin. Di masa Umar bin Khattab, Islam adalah Imperium Dunia dari pantai timur Atlantik hingga Asia Tenggara. Sudah tentu di dalamnya juga ada pandangan tentang ukuran negara. Ternyata tidak ada kejelasan apakah sebuah negara Islam berukuran mendunia, sebuah bangsa saja (wawasan etnis) dengan demikian tidak jelas; negara-bangsa (nation-state), ataukah negara-kota (city state) yang menjadi bentuk konseptualnya.
Dalam hal ini, Islam menjadi seperti komunisme: manakah yang didahulukan, antara sosialisasi sebuah negara-bangsa yang berideologi satu sebagai negara induk, atau menunggu sampai seluruh dunia di-Islam-kan, baru dipikirkan bentuk negara dan ideologinya? Menyikapi analogi negara komunis, manakah yang didahulukan antara pendapat Joseph Stalin ataukah Leon Trotsky? Sudah tentu tidak sampai membunuh Trotsky di Meksiko, seperti dilakukan Stalin.
Hal ini menjadi amat penting, karena mengemukakan gagasan Negara Islam tanpa ada kejelasan konseptualnya, berarti membiarkan gagasan itu tercabik-cabik karena perbedaan pandangan para pemimpin Islam sendiri. Misalnya, kemelut di Iran, antara para "pemimpin moderat" seperti Presiden Khatami dan para "Mullah Konservatif" seperti Rafsanjani saat ini. Satu-satunya hal yang mereka sepakati bersama adalah nama "Islam" itu sendiri.
Mungkin, mereka juga berselisih paham tentang "jenis" Islam yang akan diterapkan dalam negara itu, haruskah Islam Syi'ah atau sesuatu yang lebih "Universal"? Kalau harus mengikuti paham Syi'ah itu, bukankah gagasan Negara Islam lalu menjadi milik kelompok minoritas belaka? Bukankah syi'isme hanya menjadi pandangan satu dari delapan orang muslim di dunia saja?

***

DENGAN demikian jelas, gagasan Negara Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual dan tidak diikuti mayoritas kaum muslimin. Ia pun hanya dipikirkan sejumlah orang saja, yang terlalu memandang Islam dari sudut institusionalnya belaka. Belum lagi kalau dibicarakan lebih lanjut, dalam arti bagaimana halnya dengan mereka yang menolak gagasan itu, adakah mereka masih layak disebut kaum muslimin atau bukan? Padahal mereka adalah mayoritas penganut agama tersebut?
Bila diteruskan dengan sebuah pertanyaan lain, akan menjadi berantakan gagasan tersebut: dengan cara apa dia akan diwujudkan? Dengan cara teror atau dengan "menghukum" kaum non-muslim? Bagaimana halnya dengan para pemikir muslimin yang mempertahankan hak mereka, seperti yang dijalani penulis? Layakkah ia disebut kaum teroris, padahal ia amat menentang penggunaan kekerasan untuk mencapai sebuah tujuan. Lalu, mengapakah ia harus bertanggung jawab atas perbuatan kelompok minoritas yang menjadi para teroris itu?

ABDURRAHMAN WAHID Ketua Dewan Syura DPP PKB

KOMPAS, Jumat, 17 Mei 2002


PERBANDINGAN PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SERTA HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN AWAM, ILMU PENGETAHUAN, FILSAFAT, DAN AGAMA DUNIA


I. PENDAHULUAN
llmu Sejarah telah dapat membuktikan tentang pengungkapan ilmiah manusia yang sangat menonjol di dunia adalah di zaman Yunani Kuno (abad IV dan V S.M). Bangsa Yunani ditakdirkan Allah sebagai manusia yang mempunyai akal jernih. Bagi mereka ilmu itu adalah suatu keterangan rasional tentang sebab-musabab dari segala sesuatu didunia ini. Dunia adalah kosmos yang teratur dengan aturan kausalitas yang bersifat rasional. Demikianlah tiga dasar yang menguasai ilmu orang Yunani pada waktu itu, yaitu: Kosmos, Kausalitas dan Rasional.[1]
Pada hakikatnya kelahiran cara berfikir ilmiah itu merupakan suatu revolusi besar dalam dunia ilmu pengetahuan, karena sebelum itu manusia lebih banyak berpikir menurut gagasan-gagasan magis dan mitologi yang bersifat gaib dan tidak rasional.
Dengan berilmu dan berfilsafat manusia ingin mencari hakikat kebenaran dari pada segala sesuatu. Dalam berkelana mencari pengetahuan dan kebenaran itu menusia pada akhirnya tiba pada kebenaran yang absolut atau yang mutlak yaitu ‘Causa Prima’ daripada segala yang ada yaitu Allah Maha Pencipta, Maha Besar, dan mengetahui. Oleh karena itu kita setuju apabila disebutkan bahwa manusia itu adalah makhluk pencari kebenaran. Di dalam mencari kebenaran itu manusia selalu bertanya. Dalam kenyataannya makin banyak manusia makin banyaklah pertanyaan yang timbul. Manusia ingin mengetahui perihal sangkanparannya, asal mula dan tujuannya, perihal kebebasannya dan kemungkinan-kemungkinannya. Dengan sikap yang demikian itu manusia sudah menghasilkan pengetahuan yang luas sekali yang secara sistematis dan metodis telah dikelompokkan ke dalam berbagai disiplin keilmuan. Namun demikian karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka sejumlah besar pertanyaan tetap relevan dan aktual seperti yang muncul pada ribuan tahun yang lalu, yang tidak terjawab oleh Ilmu pengetahuan seperti antara lain: tentang asal mula dan tujuan manusia, tentang hidup dan mati, tentang hakikat manusia dan sebagainya. Ketidakmampuan ilmu pengetahuan dalam menjawab sejumlah pertanyaan itu, maka filasafat mejadi tempat menampung dan mengelolanya. Filsafat adalah ilmu yang tanpa batas, tidak hanya menyelidiki salah satu bagian dari kenyataan saja, tetapi segala apa yang menarik perhatian manusia.

II.  SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PENGETAHUAN AWAM, ILMU PENGETAHUAN, FILSAFAT, DAN AGAMA.
                A. PENGETAHUAN AWAM
Pengetahuan adalah hasil kegiatan ingin tahu manusia tentang apa saja melaui cara-cara dan dengan alat-alat tertentu.[2] Pengetahuan ini banyak bermacam-macam jenis dan sifatnya, ada yang langsung dan ada yang tak langsung; ada yang bersifat tidak tetap (berubah-ubah), subyektif, dan khusus, dan ada pula yang bersifat tetap, obyektif dan umum. Jenis dan sifat pengetahuan ini tergantuntng kepada sumbernya dan dengan cara dan alat apa pengetahuan itu diperoleh. Kemudian, ada pengetahuan yang benar dan ada pengetahuan yang salah.
1. INGIN TAHU ADALAH KODRAT MANUSIA
Keinginan atau kemauan (will) merupakan salah satu unsur kekuatan kejiwaan manusia. Keinginan merupakan bagian integral dari tri-potensi kejiwaan: cipta/akal (rationale), rasa (emotion), dan karsa/kemauan/keinginan (will). Ketiganya barada dalam satu kesatuan yanag utuh dan berkerja saling melengkapi. Potensi karsa inilah yang menjadi dorongan rasa ingin tahu itu muncul dan berkembang.
Pada saat panca indra, menyaksikan sesuatu yang menggejala, maka dorongan ingin tahu segera muncul dengan serta merta yang diikuti oleh perasaan heran dan kagum, dan akhirnya fikiran bergerak mengambil peranan aktif. Fikiran lain mencoba memahami dengan unsure-unsur yang terkandung  di dalamnya dan sifat-sifat yang dimilikinya, dan seterusnya, sampai mendapatkan pengetahuan yang sebanyak-banyaknya, seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya sehingga puas.
Dorongan ingin tahu manusia tidak terbatas. Manusia secara terus menerus ingin mengetahui apa saja sampai ia puas. Sedangkan kapan dan sampai pada taraf mana rasa puas itu ada, juga sulit untuk ditentukan. Hal ini terjadi karena manusia memang mempuanyai sifat bawaan berupa perasaan (emotion) dan kemauan (will) yang bertindak sebagai potensi kejiwaan itu sendiri. Namun demikian, boleh jadi pada waktu pengetahuan tertentu itu mengenal sesuatu yang diperoleh dengan sejumlah alasan, bukti, saksi, dan sebagainya, maka kepuasan itu mungkin ada walaupun untuk sementara. Ada suatu gambaran proses tercapainya pengetahuan yang bisa memberi kepuasan, yaitu:
Ø       Rasa heran
Ø       Keraguan
Ø       Perkiraan
Ø       Pendapat
Ø       Kepastian
Ø       Keyakinan [3]
2. GEJALA MENGETAHUI
Ø  Pada suatu saat, manusia ingin mengetahui sesuatu tentang dirinya, dunia sekitarnya, orang lain, yang baik dan yang buruk, yang indah dan jelek, dan sebagainya.
Ø  Ketika ingin mengetahui sesuatu, tentu ada suatu dorongan dari dalam diri manusia yang mengajukan pertanyaan yang perlu jawaban yang memuaskan keingintahuannya. Dorongan itu disebut fase ingin mengetahui. Sesuatu yang diketahui manusia disebut pengetahuan. Pengetahuan yang memuaskan manusia adalah pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang tidak benar adalah kekeliruan. Keliru sering kali lebih jelek dari pada tidak tahu. Pengetahuan yang keliru dijadikan tindakan/perbuatan akan menghasilkan kekeliruan, kesalahan, dan malapetaka.
Ø  Sasaran atau obyek yang ingin diketahui adalah sesuatu yang ada, yang mungkin ada, yang pernah ada dan sesuatu yang mengadakan. Dengan demikian manusia dirangsang keingintahuannya oleh alam sekitarnya melalui indranya dan pengalamannnya.
Ø  Hasil gejala mengetahui adalah manusia mengetahui secara sadar bahwa dia telah mengetahui.

                B. ILMU PENGETAHUAN
                Ilmu Pengetahuan adalah pengetahuan yang bertujuan mencapai kebenaran ilmiah tentang obyek tertentu, yang diperoleh melalui pendekatan atau cara pandang (approach), metode (method), dan sistem tertentu.[4] Jadi, pengetahuan yang benar tentang obyek itu tidak bisa dicapai secara langsung, dan sifat dari padanya adalah khusus.
                Ilmu pengetahuan ini diciptakan oleh manusia karena didorong oleh rasa ingin tahu yang tidak berkesudahan terhadap obyek, fikiran atau akal budi yang menyangsikan kesaksian indra, karena indra dianggap sering menipunya. Kesangsain akal budi ini lalu diikuti dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sesuatu itu? Mengapa sesuatu itu ada? Bagaimana keberadaanya? Dan, apa tujuan keberadaanya itu? Masing-masing pertanyaan itu akan menghasilkan:
a.      Ilmu pengetahuaan filosofis yang mempersoalkan hakikat atau esensi sesuatu (pengetahuan universal).
b.     Ilmu pengetahuan kausalistik, artinya selalu mencari sebab musabab keberadaannya (pengetahuan umum bagi jenis suatu benda).
c.      Ilmu pengetahuan yang bersifat deskriptif-analitik, yaitu yang mencoba menjelaskan sifat-sifat umum yang dimiliki oleh suatu jenis obyek.
d.     Ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, yaitu yang mencoba memahami norma suatu obyek yang dari sana akan tergambar tujuan dan manfaat obyek.
Pada dasarnya, setiap ilmu memiliki dua macam obyek, yaitu obyek materi dan obyek formal.[5] Yang disebut obyek materi adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, pemikiran atau penelitian keilmuan. Adapun obyek materi itu bisa saja berupa benda-benda material maupun yang non-material. Bisa pula berupa hal-hal, masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep, dan sebagainya. Obyek materi tidak terbatas pada apakah ada di dalam realitas konkret atau di dalam realitas abstrak.
Suatu obyek materi, apakah yang material maupun yang non-material, sebenarnya merupakan suatu substansi yang tidak begitu saja dengan mudah diketahui. Lebih-lebih yang non-material sedangkan yang material pun, sebagai suatu substansi, mempunyai segi yang sulit dihitung dan ditentukan jumlahnya.
Kenyataan itu mempersulit usaha untuk memahami  maknanya. Oleh karena itu, dalam rangka mengetahui maknanya, orang lalu melakukan pendekatan-pendekatan secara cermat dan bertahap menurut segi-segi yang dimilki obyek materi itu, dan tentu saja menurut kemampuan seseorang. Cara pendekatan inilah yang demikian dikenal sebagai “obyek formal” atau cara pandang. Cara pandang ini berkonsentrasi pada satu segi saja, sehingga menurut segi yang satu ini, orang mendapat kejelasan. Dengan demikian , lalu tergambarlah lingkup suatu pengetahuan mengenai sesuatu hal menurut segi tertentu. Dengan kata lain, “tujuan” pengetahuan sudah ditentukan.
1. SISTEM ILMU PENGETAHUAN
                Ada enam jenis sistem yang lazim dikenal dalam ilmu pengetahuan (Soejono Soemargono, 1983):[6]
1.       Sistem Tertutup. Sistem ini tidak memungkinkan masuknya prinsip-prinsip unsur-unsur baru ke dalamnya.
2.       Sistem Terbuka. Sistem ini memang dimaksudkan untuk memberikan peluang bagi masuknya unsur-unsur baru, agar keberadaan sesuatu hal kemungkinan akan tetap berlangsung. Lebih dari itu agar perkembangan sesuatu itu juga dimungkinkan.
3.       Sistem Alami. Sistem ini memang sudah sejak awal merupakan suatu kesatuan yang utuh, dalam rangka mencapai tujuan yang juga telah ditentukan sejak awal.
4.       Sistem Buatan. Sistem ini jelas merupakan hasil karya manusia. Hal ini tercipta atau diciptakan secara sengaja untuk memenuhi segala macam kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin kompleks yang disebabkan oleh perkembangan kualitas manusia itu sendiri.
5.       Sistem yang Berbentuk Lingkaran. Sistem ini merupakan perkembangan dari sistem buatan. Hal ini dibuat agar lebih memudahkan tercapainya salah satu tujuan hidup.
6.       Sistem yang Berbentuk Garis Lurus. Sistem ini juga merupakan perkembangan dari sistem buatan. Agar dapat mencapai tujuan tujuan yang lebih mudah, sistem ini disusun menurut jenjang-jenjang atau tingkat-tingkat mulai yang dari yang paling tinggi ke jenjang yang paling rendah.
2. KEBENARAN ILMU PENGETAHUAN
                Yang dimaksud kebenaran ilmu pengetahuan (lazim disebut kebenaran keilmuan atau kebenaran ilmiah) adalah pengetahuan yang jelas dari suatu obyek materi yang dicapai menurut obyek formal (cara pandang) tertentu dengan metode yang sesuai dan ditunjang oleh suatu sistem yang relevan. Pengetahuan yang demikian ini tahan uji baik dari verifikasi empiris maupun yang rasional. Karena memang cara pandang, metode dan sistem yang dipakai adalah bersifat empiris dan rasional secara silih berganti. Tentang kebenaran keilmuan ini, paling tidak ada tiga teori pokok sebagai berikut :
1.       Saling hubungan (coherence theory)
2.       Teori persesuaian (correspondence theory)
3.       Teori kegunaan (pragmatic theory) [7]
C. FILSAFAT
Perkataan Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya adalah philos (philia, cinta) dan sophia (kearifan).[8] Namun pertanyaan kita selanjutnya adalah bagaimana kita mendefinisikan filsafat itu sendiri? Hamersma (1981: 10) mengatakan bahwa Filsafat merupakan pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan Jadi, dari definisi ini nampak bahwa kajian filsafat itu sendiri adalah realitas hidup manusia yang dijelaskan secara ilmiah guna memperoleh pemaknaan menuju “hakikat kebenaran”.
Sebenarnya, pengertian tentang filsafat cukup beragam. Titus et.al (dalam Muntasyir & Munir, 2002: 3) memberikan klasifikasi pengertian tentang filsafat, sebagai berikut:[9]
  1. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis (arti informal).
  2. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi (arti formal).
  3. Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Artinya filsafat berusaha untuk mengombinasikan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam (arti spekulatif)
  4. Filsafat adalah analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. Corak filsafat yang demikian ini dinamakan juga logosentris.
  5. Filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung, yang mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.
1. Ciri-Ciri Berpikir Dalam Filsafat
Dalam memahami suatu permasalahan, ada perbedaan tentang karakteristik dalam berfikir antara filsafat dengan ilmu-ilmu lain. Mudhofir dalam Muntasyir & Munir (2002: 4-5) mengatakan bahwa ciri-ciri berfikir kefilsafatan sebagai berikut:[10]
  1. Radikal, artinya berpikir sampai ke akar-akarnya, hingga sampai pada hakikat atau substansi yang dipikirkan.
  2. Universal, artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia. Kekhususan berpikir kefilsafatan menurut Jespers terletak pada aspek keumumannya.
  3. Konseptual, artinya merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia. Misalnya : Apakah Kebebasan itu ?
  4. Koheren atau konsisten (runtut). Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir logis. Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.
  5. Sistematik, artinya pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
  6. Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh. Berpikir secara kefilsafatan merupakan usaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
  7. Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran filsafati boleh dikatakan merupakan hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, bahkan relijius.
  8. Bertanggungjawab, artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang-orang yang berpikir sekaligus bertanggungjawab terhadap hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati nuraninya sendiri.
2. Bidang dalam Filsafat
                Secara umum, bidang-bidang utama filsafat terbagi menjadi 3 bagian, yaitu metafisika, epistimologi dan aksiologi. Secara ringkas ketiga bidang tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:[11]
  1. Metafisika. Metafisika berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta ta physika yang berarti segala sesuatu yang berada di balik hal-hal yang sifatnya fisik. Metafisika sendiri dapat diartikan sebagai cabang filsafat yang paling utama, yang membicarakan mengenai keberadaan (being) dan eksistensi (existence). Oleh karena itu, metafisika lebih mempelajari sesuatu atau pemikiran tentang sifat yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan. Menurut Wolff, metafisika dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kategori, yaitu :
o  Metafisika Umum (Ontologi), yaitu metafisika yang membicarakan tentang “Ada” (Being).
o  Metafisika Khusus, yaitu metafisika yang membicarakan sesuatu yang sifatnya khusus.
Dalam metafisika khusus ini, Wolff membagi ke dalam 3 (tiga) kategori :
§  Psikologi, yang membahas mengenai hakekat manusia
§  Kosmologi, yang membahas mengenai alam semesta
§  Theologi, yang membahas mengenai ketuhanan
  1. Epistimologi. Epistimologi berasal dari kata Episteme yang berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang berarti teori. Oleh karena itu, epistimologi berarti teori pengetahuan. Permasalahan-permasalahan yang menjadi fokus pembicaraan epistimologi adalah asal-usul pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan, hubungan antara pengetahuan dan kebenaran, dan sebagainya. Dalam epistimologi, pengetahuan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan kebenaran.
  2. Aksiologi. Aksiologi berasal dari kata axios yang berarti nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos yang berarti akal atau teori. Oleh karena itu, aksiologi dapat diartikan sebagai teori mengenai sesuatu yang bernilai. Dalam cabang ini, salah satu yang paling mendapatkan perhatian adalah masalah etika/kesusilaan. Dalam etika, obyek materialnya adalah perilaku manusia yang dilakukan secara sadar. Sedangkan obyek formalnya adalah pengertian mengenai baik atau buruk, bermoral atau tidak bermoral dari suatu perilaku manusia.
             D. AGAMA
                        Agama dan kehidupan beragama merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari kehidupan dan sistem budaya umat manusia. Sejak awal kebudayaan manusia, agama, dan kehidupan beragama tersebut telah menggejala dalam kehidupan, bahkan memberikan corak dan bentuk dari semua perilaku budayanya.
Agama dan perilaku keagamaan tumbuh dan berkembang dari adanya rasa ketergantungan manusia terhadap kekuatan gaib yang mereka rasakan sebagai sumber kehidupan mereka. Mereka harus berkomunikasi untuk memohon bantuan dan pertolongan kepada kekuatan gaib tersebut, agar mendapatkan kehidupan yang aman, selamat dan sejahtera. Tetapi “apa” dan “siapa” kekuatan gaib yang mereka rasakan sebagai sumber kehidupan tersebut, dan bagaimana cara berkomunikasi dan memohon perlindungan dan bantuan tersebut, mereka tidak tahu.
 Mereka hanya merasakan adanya dan kebutuhan akan bantuan dan perlindungannya. Itulah awal rasa agama, yang merupakan desakan dari sisi internal diri mereka, yang mendorong timbulnya perilaku keagamaan (agama dan kehidupan beragama) merupakan pembawaan dari kehidupan manusia, atau dengan istilah lain merupakan “fitrah” manusia. Artinya bahwa dalam diri manusia, baik secara sendiri-sendiri maupun secara kelompok, terdapat kecenderungan itu tumbuh dan berkembang bersama dengan kecenderungan dan dorongan lainnya, yang dalam kehidupan bersama suatu kelompok atau masyarakat yang hidup dalam suatu lingkungan tertentu membentuk suatu sistem budaya tertentu.               
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kecenderungan dan dorongan bawaan manusia untuk beragama itu tumbuh dan berkembang secara alami bersama dengan sistem dan lingkungan budaya masyarakatnya.
Agama yang demikian biasa dikenal dengan sebutan Agama Alami, atau Agama Budaya, karena tumbuh dan berkembang bersama dalam sistem budaya manusia. Agama alami atau agama budaya tersebut juga dikenal sebagai agama akal, karena tumbuh dan berkembangnya berdasarkan atau sebagai produk dari penggunaan akal dan budi daya manusia semata-mata. Karena merupakan produk budi daya manusia dalam kehidupannya di muka bumi, maka agama ini disebut juga agama bumi (ardli), yakni agama yang tumbuh berkembang di muka bumi, bukan turun dari langit.
                Di samping itu, ada agama yang dipercayai sebagai turun dari langit, berasal dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu kepada Rasul untuk disampaikan kepada umat manusia, agama jenis ini biasanya dikenal dengan sebutan Agama Samawi atau Agama Wahyu, karena berasal dari Tuhan Yang Maha Tinggi dan disampaikan melalui wahyu.
Para Rasul selanjutnya mendakwahkan dan mengaplikasikan agama wahyu itu ke dalam sistem kehidupan sosial-budaya umatnya, dengan demikian agama wahyu itu pun akhirnya bertumbuh kembang dalam dan bersama dengan sistem kehidupan sosial-budaya dan lingkungan umatnya.

III.   HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN AWAM, ILMU PENGETAHUAN, FILSAFAT DAN AGAMA
A. Hubungan antara Pengetahuan Awam dan Ilmu Pengetahuan
                Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa pengetahuan awam bermula dari munculnya keingintahuan manusia terhadap sesuatu. Dan keingintahuan itulah yang mendorongnya untuk mencari hakikat kebenaran dari sesuatu itu. Namun karena manusia terkadang hanya menggunakan perasaan dan pengalaman dalam mencari hakikat kebenaran itu maka ia tidak merasa puas dan ragu dengan apa yang dia peroleh.
Berangkat dari hal tersebut, maka manusia mulai berpikir secara mendalam dan sistematis serta melakukan percobaan-percobaan dan tindakan-tindakan yang bersifat ilmiah demi untuk membuktikan kebenaran yang dicarinya dan untuk memuaskan keingintahuannya yang sangat besar. Inilah yang kemudian yang melandasi lahirnya ilmu pengetahuan.
Jadi bisa dikatakan bahwa pengetahuan awam merupakan cikal bakal lahirnya ilmu pengetahuan, yaitu suatu pengetahuan sehari-hari yang dilanjutkan dengan suatu pemikiran cermat dan seksama dengan menggunakan berbagai metode ilmiah. Ilmu pengetahuan juga merupakan suatu metode berfikir secara objektif yang bertujuan untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap gejala dan fakta melalui observasi, eksperimen dan klasifikasi. Ilmu pengetahuan harus bersifat objektif karena dimulai dari fakta, mengenyampingkan sifat kedirian, mengutamakan pemikiran logik dan netral.

B. Hubungan antara Ilmu Pengetahuan, Filsafat, dan Agama
Sebagaimana kita ketahui bahwa yang dicari oleh filsafat adalah kebenaran. Demikian pula ilmu pengetahuan. Agama juga mengajarkan kebenaran. Kebenaran dalam filsafat dan ilmu pengetahuan adalah "kebenaran akal", sedangkan kebenaran menurut agama adalah "kebenaran wahyu". Kita tidak akan berusaha mencari mana yang benar atau lebih benar di antara keduanya, akan tetapi kita akan melihat apakah keduanya dapat hidup berdampingan secara damai, apakah keduanya dapat bekerjasama atau bahkan saling bermusuhan satu sama lain.
Meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan akal, hasil yang diperoleh baik oleh filsafat maupun ilmu pengetahuan juga bermacam-macam. Hal ini dapat dilihat pada aliran yang berbeda-beda, baik di dalam filsafat maupun di dalam ilmu pengetahuan. Demikian pula terdapat bermacam-macam agama yang masing-masing mengajarkan kebenaran. Bagaimana mencari hubungan antara ilmu, filsafat dan agama akan diperlihatkan sebagai berikut:
Perhatikan ilustrasi ini. Jika seseorang melihat sesuatu kemudian mengatakan tentang sesuatu tersebut, dikatakan ia telah mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu. Pengetahuan adalah sesuatu yang tergambar di dalam pikiran kita. Misalnya, ia melihat manusia, kemudian mengatakan itu adalah manusia. Ini berarti ia telah mempunyai pengetahuan tentang manusia. Jika ia meneruskan bertanya lebih lanjut mengenai pengetahuan tentang manusia, misalnya: dari mana asalnya, bagaimana susunannya, ke mana tujuannya, dan sebagainya, akan diperoleh jawaban yang lebih terperinci mengenai manusia tersebut. Jika titik beratnya ditekankan kepada susunan tubuh manusia, jawabannya akan berupa ilmu tentang manusia dilihat dari susunan tubuhnya atau antropologi fisik. Jika ditekankan pada hasil karya manusia atau kebudayaannnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari kebudayaannya atau antropologi budaya. Jika ditekankan pada hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari hubungan sosialnya atau antropologi sosial. Dari contoh di atas nampak bahwa pengetahuan yang telah disusun atau disistematisasi lebih lanjut dan telah dibuktikan serta diakui kebenarannya adalah ilmu. Dalam hal di atas, ilmu tentang manusia.
Selanjutnya, jika seseorang masih bertanya terus mengenai apa manusia itu atau apa hakikat manusia itu, maka jawabannya akan berupa suatu "filsafat". Dalam hal ini yang dikemukakan bukan lagi susunan tubuhnya, kebudayaannya dan hubungannya dengan sesama manusia, akan tetapi hakikat manusia yang ada di balik tubuh, kebudayaan dan hubungan tadi. Alm. Anton Bakker, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada menggunakan istilah "antropologi metafisik" untuk memberi nama kepada macam filsafat ini. Jawaban yang dikemukan bermacam-macam antara lain:[12]
·    Monoisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu asas. Jenis asas ini juga bermacam-macam, misalnya jiwa, materi, atom, dan sebagainya. Hal ini menimbulkan aliran spiritualisme, materialisme, atomisme.
·    Dualisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas dua asas yang masing-masing tidak berhubungan satu sama lain, misalnya jiwa-raga. Antara jiwa dan raga tidak terdapat hubungan.
·    Triadisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas tiga asas, misalnya badan, jiwa dan roh.
·    Pluralisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri dari banyak asas, misalnya api, udara, air dan tanah.
                Di samping itu, ada beberapa pernyataan mengenai manusia yang dapat digolongkan sebagai bernilai filsafati. Misalnya:
1.  Aristoteles:
· Manusia adalah animal rationale.
· Karena, menurutnya, ada tahap perkembangan: Benda mati -> tumbuhan -> binatang -> manusia
· Tumbuhan = benda mati + hidup ----> tumbuhan memiliki jiwa hidup
· Binatang = benda mati + hidup + perasaan ----> binatang memiliki jiwa perasaan
· Manusia = benda mati + hidup + akal ----> manusia memiliki jiwa rasional
· Manusia adalah zoon poolitikon, makhluk sosial.
· Manusia adalah "makhluk hylemorfik", terdiri atas materi dan bentuk-bentuk
2.  Ernest Cassirer: manusia adalah animal simbolikum. Manusia ialah binatang yang mengenal simbol, misalnya adat-istiadat, kepercayaan, bahasa. Inilah kelebihan manusia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Itulah sebabnya manusia dapat mengembangkan dirinya jauh lebih hebat daripada binatang yang hanya mengenal tanda dan bukan simbol.
                Demikianlah disebutkan beberapa contoh mengenai bentuk jawaban yang berupa filsafat. Dari contoh tersebut, filsafat adalah pendalaman lebih lanjut dari ilmu pengetahuan (Hasil pengkajian filsafat selanjutnya menjadi dasar bagi eksistensi ilmu pengetahuan). Di sinilah batas kemampuan akal manusia. Dengan akalnya ia tidak akan dapat menjawab pertanyaan yang lebih dalam lagi mengenai manusia. Dengan akalnya, manusia hanya mampu memberi jawaban dalam batas-batas tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Immanuel Kant dalam kritiknya terhadap rasio yang murni, yaitu manusia hanya dapat mengenal fenomena belaka, sedang bagaimana nomena-nya ia tidak tahu.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang dapat menjawab pertanyaan lebih lanjut mengenai manusia adalah agama; misalnya, tentang pengalaman apa yang akan dijalani setelah seseorang meninggal dunia. Jadi, sesungguhnya filsafat tidak hendak menyaingi agama. Filsafat tidak hendak menambahkan suatu kepercayaan baru. Bertrand Russel mencatat August Comte pernah mencobanya, namun ia gagal. "Dan ia patut bernasib demikian," demikian Russel.
Selanjutnya, filsafat dan ilmu pengetahuan juga dapat mempunyai hubungan yang baik dengan agama. Filsafat dan ilmu pengetahuan dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran agama kepada manusia. Filsafat membantu agama dalam mengartikan (menginterpretasikan) teks-teks sucinya. Filsafat membantu dalam memastikan arti objektif tulisan wahyu. Filsafat menyediakan metode-metode pemikiran untuk teologi. Filsafat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru. Misalnya, mengusahakan mendapat anak dengan in vitro fertilization ("bayi tabung") dapat dibenarkan bagi orang Kristen atau tidak? Padahal Kitab Suci diam seribu bahasa tentang bayi tabung. Filsafatlah, dalam hal ini etika, yang dapat merumuskan permasalahan etis sedemikian rupa sehingga agama dapat menjawabnya berdasarkan prinsip-prinsip moralitasnya sendiri.
Sebaliknya, agama dapat membantu memberi jawaban terhadap problem yang tidak dapat dijangkau dan dijawab oleh ilmu pengetahuan dan filsafat. Meskipun demikian, tidak juga berarti bahwa agama adalah di luar rasio, agama adalah tidak rasional. Agama bahkan mendorong agar manusia memiliki sikap hidup yang rasional; bagaimana manusia menjadi manusia yang dinamis, yang senantiasa bergerak, yang tak cepat puas dengan perolehan yang sudah ada di tangannya, untuk lebih mengerti kebenaran, untuk lebih mencintai kebaikan, dan lebih berusaha agar cinta Allah kepadanya dapat menjadi dasar cintanya kepada sesama sehingga bersama-sama manusia yang lain mampu membangun dunia ini.
Dengan cara menyadari keadaan serta kedudukan masing-masing, maka antara ilmu pengetahuan dan filsafat serta agama dapat terjalin hubungan yang harmonis dan saling mendukung. Karena, semakin jelas pula bahwa seringkali pertanyaan, fakta atau realita yang dihadapi seseorang adalah hal yang sama, namun dapat dijawab secara berbeda sesuai dengan proporsi yang dimiliki masing-masing bidang kajian, baik itu ilmu pengetahuan, filsafat maupun agama. Ketiganya dapat saling menunjang dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam kehidupan.
Dan filsafat memungkinkan orang dari pandangan dunia dan agama yang berbeda untuk bersama-sama membahas tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa serta untuk mencari pemecahan yang berorientasi pada martabat manusia. Ia dapat menjadi dasar untuk dialog di antara agama-agama.[13]
Demikianlah pemahaman yang kita miliki sekarang mengenai terminologi "filsafat" dan kedudukannya di antara ilmu pengetahuan dan agama.  
               
IV. KESIMPULAN
Dari uraian dan pemaparan di atas, dapatlah pemakalah membuat beberapa kesimpulan:
1.      Pengetahuan awam adalah hasil kegiatan ingin tahu manusia tentang apa saja melaui cara-cara dan dengan alat-alat tertentu.
2.      Ilmu Pengetahuan adalah pengetahuan yang bertujuan mencapai kebenaran ilmiah tentang obyek tertentu, yang diperoleh melalui pendekatan atau cara pandang (approach), metode (method), dan sistem tertentu.
3.      Yang dimaksud kebenaran ilmu pengetahuan (lazim disebut kebenaran keilmuan atau kebenaran ilmiah) adalah pengetahuan yang jelas dari suatu obyek materi yang dicapai menurut obyek formal (cara pandang) tertentu dengan metode yang sesuai dan ditunjang oleh suatu sistem yang relevan.
4.      Filsafat adalah ilmu yang tanpa batas, tidak hanya menyelidiki salah satu bagian dari kenyataan saja, tetapi segala apa yang menarik perhatian manusia.
5.      Agama dan kehidupan beragama merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari kehidupan dan sistem budaya umat manusia.
6.      Antara ilmu pengetahuan dan filsafat serta agama dapat terjalin hubungan yang harmonis dan saling mendukung. Ketiganya dapat saling menunjang dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam kehidupan.

DAFTAR RUJUKAN 
1.      Artikel Filsafat Ilmu Pengetahuan, didownload dari internet tanggal 4 November 2009.
2.      Artikel Hubungan Ilmu Pengetahuan, Filsafat dan Agama, Posted by Yudhi at Thursday, January 24, 2008, didownload dari internet tanggal 4 November 2009.
3.      Bakhtiar, Amsal, Fisafat Agama, Cet. I, Jakarta: Logos, 1997.
4.      Gie, The Liang, Pengantar Filsafat Ilmu, Cet. VII, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007.
5.      Suhartono, Suparlan, Dasar-Dasar Filsafat, Cet. III, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
6.      Suseno, Franz Magnis, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Cet. XIV, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992.

Pengikut