Kamis, 06 Januari 2011

MAKNA HIJRAH


Oleh: Prof. DR. M. Quraish Shihab, MA
(Direktur Pusat Studi al-Qur’an (PSQ) – Lentera Hati)


Peristiwa hijrah Nabi Saw. pernah disitir dalam sebuah hadits tentang niat, “Setiap pekerjaan pasti disertai oleh niat.  Maka, barangsiapa hijrahnya didorong oleh niat karena Allah, hijrahnya akan dinilai demikian.  Dan barangsiapa berhijrah didorong oleh keinginan mendapatkan keuntungan duniawi atau karena ingin mengawini seorang wanita,  maka hijrahnya dinilai sesuai dengan tujuan tersebut.”  Ketika beliau dan para sahabat berhijrah, motivasi mereka adalah guna memperoleh ridha Allah Swt, yang diyakini Mahakuasa dan Mahabijaksana.  Walau menjelang hijrah kaum musilm berada pada posisi yang sangat lemah dan teraniaya, namun keyakinan mereka akan datangnya kemenangan tidak pernah sirna.  Hal ini disebabkan karena pokok pertama yang ditanamkan Rasul Saw. kepada para sahabatnya – jauh sebelum hijrah – adalah keimanan kepada Allah Swt, yang bukan saja sebagai ajaran dasar tetapi juga sebagai benteng manusia dan mengantarkan mereka kepada optimisme.

Muhammad Rasyid Ridha menulis dalam Tafsir al-Manar: “Iman membangkitkan sinar dalam akal, sehingga bisa menjadi petunjuk jalan ketika berjumpa dengan gelap keraguan.  Dengan iman, seseorang akan mudah mengatasi batu penghalang yang dapat menjatuhkannya ke jurang kebinasaan.  Iman menumbuhkan dalam diri manusia suatu pusat kontrol atas tiap detak-detak hati yang terlintas dan setiap pandangan yang terbentang.  Dengan iman, seseorang dapat melihat tembus sesuatu yang tersirat dari kulit yang tersurat.  Demikian itulah, Tuhan tidak menghasilkan sesuatu yang baik kecuali dari yang baik pula.”

Pelaksanaan hijrah dilakukan oleh Rasulullah Saw. selain karena ada wahyu dari Allah Swt, juga secara sosial dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat Makkah waktu itu yang sudah mengalami kegelisahan kolektif dan kemudian mengakibatkan keruntuhan tatanan masyarakat salah satu kota suci di jazirah Arab tersebut dalam perjalanan sejarahnya.

Yang terlibat dalam pelaksanaan Hijrah yang dilakukan pada malam hari tersebut, selain Rasulullah Saw, antara lain: Abu Bakar (pemilik Unta) dan Abdullah al-Qaraiki (seorang Nasrani) yang menemani beliau sampai kota Madinah, Ali bin Abi Thalib yang menggantikan posisi beliau tidur di kasurnya, dan Siti ‘Aisyah yang menyediakan perbekalan mereka.  Unta yang digunakan untuk hijrah itu dibeli dari Abu Bakar, padahal sebenarnya sengaja dihadiahkan untuk beliau, namun beliau justru membayarnya.

Kata “Hijrah” disebutkan sebanyak 35 kali di dalam al-Qur’an, yang diantaranya terkait dengan berbagai peristiwa para nabi.  Yang menarik, dalam beberapa peristiwa yang menceritakan para nabi selain Nabi Muhammad Saw, mereka menggunakan lafal “aku” ketika menjelaskan kepada kaumnya bahwa Tuhan bersamanya saat dikejar-kejar pasukan Raja Fir’aun, sedangkan beliau menegaskan degan lafal “kita” ketika menenangkan para sahabat saat bersembunyi di Gua Tsur untuk menghindari kejaran kaum Quraisy yang telah berdiri di mulut gua tersebut; “Jangan kuatir dan jangan bersedih.  Sesungguhnya Allah bersama kita” (QS.9:40).  Selain itu, penegasan Rasul Saw. dalam ayat ini mengindikasikan sikap tawakal kepada Allah Swt. akan apa yang terjadi nanti (hasilnya), setelah berusaha maksimal untuk melakukan yang terbaik.

Nah, dari peristiwa tersebut di atas bisa diambil beberapa pelajaran berharga, antara lain: Pertama, kesadaran Nabi Saw. untuk membayar unta yang ditawarkan Abu Bakar merupakan cerminan dari sikap yang tidak setengah-setengah dalam melakukan perjuangan.  Beliau ingin mengajarkan bahwa untuk mencapai suatu usaha besar dibutuhkan pengorbanan maksimal dari setiap orang, dengan segala daya yang dimilikinya, tenaga, pikiran, dan materi, bahkan dengan jiwa dan raga sekalipun.

Kedua, keterlibatan berbagai pihak dalam perjalanan Hijrah Rasul Saw. mengindikasikan bahwa semestinya sebuah perjuangan dilakukan secara bersama-sama dengan menggalang segala potensi yang ada dalam sebuah komunitas, bahkan dengan pihak yang berlainan akidah sekalipun.  Begitu juga dengan penegasan Rasulullah Saw. bahwa “Allah bersama kita”, yang meniscayakan “prinsip kebersamaan” dalam Islam.

Ketiga, kegelisahan kolektif suatu masyarakat bisa mengakibatkan keruntuhan tatanan masyarakat tersebut, bila tidak diambil solusi yang tepat dan cepat dalam melakukan transformasi sosial menjuju ke arah yang lebih baik.  Nah, bila dalam al-Qur’an disebutkan bahwa “Sesungguhnya kepada Tuhanlah tempat kembali” (QS.96:8), itu artinya transformasi sosial yang dimaksud merupakan upaya merujukkan kembali segala sousi yang kita ambil, baik pada tingkat individual, komunal, maupun sosial, kepada nilai-nilai kemanusiaan universal yang berlandaskan asas ketuhanan dalam Islam (rahmatan lil ‘alamin).

Keempat, setelah upaya maksimal dalam melakukan perbaikan (hijrah), maka yang dibutuhkan dalah sikap tawakkal, yakni meyerahkan hasil semuanya kepada Tuhan, seraya tanpa henti terus berikhtiar dan menyempurnakannya.  Dua point terakhir inilah sejatinya merupakan signifikasi dari pondasi dasar keimanan yang dimaksud pada penjelasan awal di atas.  Wallahu A’lam bishshawwab.

Sumber: Lentera Hati, bulletin PSQ edisi 03/Maret-April 2005



1 komentar:

  1. Harrah's Cherokee Casino Resort - Mapyro
    Harrah's Cherokee 하남 출장샵 Casino Resort 진주 출장샵 Harrah's Cherokee Casino Resort 안동 출장샵 is open daily 24 hours 365 days a week 365 의왕 출장샵 days 광명 출장마사지 a year.

    BalasHapus

Pengikut