Kamis, 06 Januari 2011

Aneka Pendekatan Dalam Studi Islam

Untuk memahami ajaran Islam secara komprehensif, diperlukan pandangan yang syumul terhadap berbagai aspek yang meliputi agama itu sendiri. Di samping itu, terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk mendekati dan menemukan kejelasan dalam studi Islam. 
Berikut adalah beberapa bentuk pendekatan dalam studi Islam yang akan saya deskripsikan secara singkat dan padat.
a. Pendekatan Psikologis
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamati. Dalam kaitannya dengan studi agama, maka pendekatan Psikologis dapat diartikan sebagai penarapan metode-metode dan data psikologis ke dalam studi tentang keyakianan dan pemahaman keagamaan untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang, atau dengan kata lain, pendekatan psikologis merupakan pendekatan keagamaan yang menggunakan paradigma dan teori-teori psikologis dalan memahami agama dan sikap keagamaan seseorang.
Salah satu cara yang dapat diterapkan dalam pendekatan ini adalah dengan cara mempelajari jiwa seseorang melalui perilaku yang tampak yang mungkin saja dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Dalam hal ini, pendekatan psikologis tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama atau keyakinan yang dianut seseorang, melainkan dengan mementingkan bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Pendekatan ini dapat dilakukan ketika berhadapan dengan masalah sikap dan perilaku yang ditampakkan oleh para pemeluk agama. Penerapan pendekatan ini dalam studi Islam dapat dilihat, misalnya pada pengaruh yang ditimbulkan oleh ibadah puasa, dan haji terhadap perilaku yang nampak setelah ibadah tersebut dilakukan.
b. Pendekatan Sosiologis
Sosiologis adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan demikian, pendekatan sosiologis dalam studi agama dapat didefinisikan sebagai cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam disiplin ilmu sosiologis dan selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hal ini, pendekatan sosiologis adalah bersifat deduktif.
Pendekatan Sosiologis ini dapat diterapkan ketika berhadapan dengan objek atau persoalan-persoalan yang berkaitan dengan masalah sosial atau untuk melihat berbagai gejala sosial, seperti masalah muamalah (interkasi antar manusia). Contoh studi Islam yang menggunakan pendekatan ini adalah adanya kenyataan bahwa apabila urusan ibadah bersamaan dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah tersebut boleh diringkas bahkan ditangguhkan (bukan berarti ditinggalkan, seperti bolehnya meng-qasar shalat dan tidak berpuasa ketika bepergian jauh, dan lain sebagainya.
c. Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pedekatan ini, maka dapat dilihat bahwa agama ternyata memiliki hubungan dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi masyarakat. Antropologi dalam kaitannya sebagai pendekatan lebih mengutamakan pengamatan langsung, bersifat partisipatif dan menimbulkan kesimpulan-kesimpulan yang induktif.
Sama seperti pendekatan lainnya di atas, pendekatan ini dapat diterapkna pada masalah-masalah keagamaan yang menyangkut pada wilayah antropologis, serta dilakukan ketika ingin berupaya untuk mengetahui latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan dirumuskan serta untuk melihat hubungan antara agama dengan berbagai pranata sosial yang terjadi di masyarakat.
Salah satu contoh dari bentuk pendekatan antropologis dalam agama adalah penelitian yang dilakukan oleh Cliford Geertz yang dilakukan pada masyarakat Jawa serta menemukan adanya tiga kelompok (kelas) keagamaan pada masyarakat Jawa, yaitu, Abangan, Santri dan Priyayi.
d. Pendekatan Historis
Pendekatan historis adalah suatu upaya untuk dapat memahami agama dengan cara memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang dan pelaku yang terdapat dalam sebuah peristiwa. Sehingga dengan demikian, secara sederhana pendekatan historis dapat pula disebut sebagai sebuah pendekatan yang meninjau suatu permasalahan dari sudut pandang sejarah, dan menjawab permasalahan serta menganalisisnya dengan menggunakan metode analisis sejarah.
Pendekatan ini dapat dilakukan ketika menginginkan sebuah pengetahuan keagamaan yang komprehensif dan yang sebenarnya tentang suatu peristiwa atau pemahaman kegamaan, dan tentunya pada persoalan-persoalan yang mempunyai sisi-sisi sejarah (tidak bersifat a historis), seperti studi tentang munculnya sebuah teks, (termasuk teks-teks sakral semisal Al-qur`an dan Hadits ), timbulnya sebuah fatwa keagamaan dan lain sebagainya.
Adapun contoh tema studi Islam yang menggunakan pendekatan ini misalnya tergambar pada penggunaan ilmu Asbab al- nuzul yang pada intinya berkenaan dengan sejarah turunnya ayat-ayat Al-qur`an, serta penelitian yang dilakukan oleh Kuntowijoyo yang kemudian menyimpulkan bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian, bagian pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam konteks pendekatan dalam studi agama, perlu digarisbawahi bahwa penggunaan pendekatan-pendekatan tersebut tidak ditujukan untuk menguji kebenaran aspek esensi ajaran agama, khususnya Islam yang bersumber dari Al-qur`an dan hadits, karena dua sumber tersebut mutlak diakui kebenarannya. Akan tetapi, penggunaan beberapa pendekatan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kebenaran aspek lahiriah atau aspek pengamalan dari ajaran agama yang bersumber dari wahyu tersebut.

MAKNA HIJRAH


Oleh: Prof. DR. M. Quraish Shihab, MA
(Direktur Pusat Studi al-Qur’an (PSQ) – Lentera Hati)


Peristiwa hijrah Nabi Saw. pernah disitir dalam sebuah hadits tentang niat, “Setiap pekerjaan pasti disertai oleh niat.  Maka, barangsiapa hijrahnya didorong oleh niat karena Allah, hijrahnya akan dinilai demikian.  Dan barangsiapa berhijrah didorong oleh keinginan mendapatkan keuntungan duniawi atau karena ingin mengawini seorang wanita,  maka hijrahnya dinilai sesuai dengan tujuan tersebut.”  Ketika beliau dan para sahabat berhijrah, motivasi mereka adalah guna memperoleh ridha Allah Swt, yang diyakini Mahakuasa dan Mahabijaksana.  Walau menjelang hijrah kaum musilm berada pada posisi yang sangat lemah dan teraniaya, namun keyakinan mereka akan datangnya kemenangan tidak pernah sirna.  Hal ini disebabkan karena pokok pertama yang ditanamkan Rasul Saw. kepada para sahabatnya – jauh sebelum hijrah – adalah keimanan kepada Allah Swt, yang bukan saja sebagai ajaran dasar tetapi juga sebagai benteng manusia dan mengantarkan mereka kepada optimisme.

Muhammad Rasyid Ridha menulis dalam Tafsir al-Manar: “Iman membangkitkan sinar dalam akal, sehingga bisa menjadi petunjuk jalan ketika berjumpa dengan gelap keraguan.  Dengan iman, seseorang akan mudah mengatasi batu penghalang yang dapat menjatuhkannya ke jurang kebinasaan.  Iman menumbuhkan dalam diri manusia suatu pusat kontrol atas tiap detak-detak hati yang terlintas dan setiap pandangan yang terbentang.  Dengan iman, seseorang dapat melihat tembus sesuatu yang tersirat dari kulit yang tersurat.  Demikian itulah, Tuhan tidak menghasilkan sesuatu yang baik kecuali dari yang baik pula.”

Pelaksanaan hijrah dilakukan oleh Rasulullah Saw. selain karena ada wahyu dari Allah Swt, juga secara sosial dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat Makkah waktu itu yang sudah mengalami kegelisahan kolektif dan kemudian mengakibatkan keruntuhan tatanan masyarakat salah satu kota suci di jazirah Arab tersebut dalam perjalanan sejarahnya.

Yang terlibat dalam pelaksanaan Hijrah yang dilakukan pada malam hari tersebut, selain Rasulullah Saw, antara lain: Abu Bakar (pemilik Unta) dan Abdullah al-Qaraiki (seorang Nasrani) yang menemani beliau sampai kota Madinah, Ali bin Abi Thalib yang menggantikan posisi beliau tidur di kasurnya, dan Siti ‘Aisyah yang menyediakan perbekalan mereka.  Unta yang digunakan untuk hijrah itu dibeli dari Abu Bakar, padahal sebenarnya sengaja dihadiahkan untuk beliau, namun beliau justru membayarnya.

Kata “Hijrah” disebutkan sebanyak 35 kali di dalam al-Qur’an, yang diantaranya terkait dengan berbagai peristiwa para nabi.  Yang menarik, dalam beberapa peristiwa yang menceritakan para nabi selain Nabi Muhammad Saw, mereka menggunakan lafal “aku” ketika menjelaskan kepada kaumnya bahwa Tuhan bersamanya saat dikejar-kejar pasukan Raja Fir’aun, sedangkan beliau menegaskan degan lafal “kita” ketika menenangkan para sahabat saat bersembunyi di Gua Tsur untuk menghindari kejaran kaum Quraisy yang telah berdiri di mulut gua tersebut; “Jangan kuatir dan jangan bersedih.  Sesungguhnya Allah bersama kita” (QS.9:40).  Selain itu, penegasan Rasul Saw. dalam ayat ini mengindikasikan sikap tawakal kepada Allah Swt. akan apa yang terjadi nanti (hasilnya), setelah berusaha maksimal untuk melakukan yang terbaik.

Nah, dari peristiwa tersebut di atas bisa diambil beberapa pelajaran berharga, antara lain: Pertama, kesadaran Nabi Saw. untuk membayar unta yang ditawarkan Abu Bakar merupakan cerminan dari sikap yang tidak setengah-setengah dalam melakukan perjuangan.  Beliau ingin mengajarkan bahwa untuk mencapai suatu usaha besar dibutuhkan pengorbanan maksimal dari setiap orang, dengan segala daya yang dimilikinya, tenaga, pikiran, dan materi, bahkan dengan jiwa dan raga sekalipun.

Kedua, keterlibatan berbagai pihak dalam perjalanan Hijrah Rasul Saw. mengindikasikan bahwa semestinya sebuah perjuangan dilakukan secara bersama-sama dengan menggalang segala potensi yang ada dalam sebuah komunitas, bahkan dengan pihak yang berlainan akidah sekalipun.  Begitu juga dengan penegasan Rasulullah Saw. bahwa “Allah bersama kita”, yang meniscayakan “prinsip kebersamaan” dalam Islam.

Ketiga, kegelisahan kolektif suatu masyarakat bisa mengakibatkan keruntuhan tatanan masyarakat tersebut, bila tidak diambil solusi yang tepat dan cepat dalam melakukan transformasi sosial menjuju ke arah yang lebih baik.  Nah, bila dalam al-Qur’an disebutkan bahwa “Sesungguhnya kepada Tuhanlah tempat kembali” (QS.96:8), itu artinya transformasi sosial yang dimaksud merupakan upaya merujukkan kembali segala sousi yang kita ambil, baik pada tingkat individual, komunal, maupun sosial, kepada nilai-nilai kemanusiaan universal yang berlandaskan asas ketuhanan dalam Islam (rahmatan lil ‘alamin).

Keempat, setelah upaya maksimal dalam melakukan perbaikan (hijrah), maka yang dibutuhkan dalah sikap tawakkal, yakni meyerahkan hasil semuanya kepada Tuhan, seraya tanpa henti terus berikhtiar dan menyempurnakannya.  Dua point terakhir inilah sejatinya merupakan signifikasi dari pondasi dasar keimanan yang dimaksud pada penjelasan awal di atas.  Wallahu A’lam bishshawwab.

Sumber: Lentera Hati, bulletin PSQ edisi 03/Maret-April 2005



MADURA MENURUT CACATAN SEJARAH SEMANGAT BERJUANG MELAWAN PENINDASAN DAN PENJAJAHAN

Sejak jaman dahulu kala, orang-orang Madura memiliki semangat untuk melawan segala bentuk penindasan dan penjajahan baik yang dilakukan oleh kekuasaan dan kekuatan dari luar. Ha tersebut dapat kita ketahui baik dari legenda-legenda yang berkembang di kalangan rakyat Madura maupun buku-buku/tulisan-tulisan dan laporan-laporan penguasa yang pernah memerintah Pulau Madura.

1. Menurut cerita jaman kuno (± abad pertama Masehi), yang ditulis diatas daun
lontar, pada suatu saat kerajaan Mendangkawulan kedatangan musuh dari negeri Cina. Didalam peperangan tersebut Mendangkawulan berkali-kali menderita kekalahan, sehingga kedatangan seorang yang sangat tua dan berkata bahwa di Pulau Madu Oro (Madura) bertempat tinggal anak muda bernama Raden Segoro (Segoro = laut). Raja dianjurkan minta bantuan kepada Raden Segoro jika didalam peperangan ingin menang. Raden Segoro berangkat dengan membawa senjata Si Nengolo dan berperanglah untuk mengusir tentara Cina. Tentara musuh banyak yang tewas dan kerajaan Mendangkawulan menang dalam peperangan.

2. Cerita lain tentang kepahlawanan oerang-orang Madura, ialah terjadi sekitar berdirinya kerajaan Majapahit dalam abad ke 13, orang Maduralah yang membuka hutan Tarik dan mendapat bauh maja yang pahit, sehingga daerah baru tersebut disebut Majapahit. Tokoh-tokoh Madura diantaranya ialah Wiraraja, Lembu Sora, Ranggalawe, yang membantu Raden Wijaya sehingga mencapai punjak keberhasilannya dalam mendirikan kerajaan. Sewaktu Raden Wijaya dikejar oleh tentara Jayakatwang dan kerajaan Singosari runtuh, ia mengungsi ke Sumenep minta perlindungan dan bantuan kepada Raden Wiraraja dan sang Adipati Madura inilah yang menyusun rencana agar Raden Wijaya pewaris tahtakerajaan Singosari dapat kembali berkuasa. Memang Wiraraja atau yang disebut Banyak Wide adalah aktor intelektualitas yang memenangkan perang terhadap tentara Tartar yang dikirim oleh Kubelai Khan untuk menaklukkan kerajaan Jawa. Tentara Tartar mengalahkan kerajaan Jayakatwang Kediri,tetapi tentara Tartar ini pula dihancurkan oleh Raden Wijaya dengan bantuan orang-orang Madura yang bersemangat tinggi dalam berperang untuk mengusir musuh.

3. Peristiwa lain terjadi disekitar abad ke 15, ketika Dempo Awang (Sam Poo Tualang) seorang Panglima Perang dari Negeri Cina nenunjukkan kekuasaannya kepada raja-raja di Jawa dan Madura, agar mereka tunduk kepadanya. Didalam peperangan itu, Jokotole dari Madura melawan Dempo Awang yang menaiki kapal layar yang dapatberlayar di laut, diatas gunung diantara bumi dan langit. Demikian menurut cerita legenda. Didalam peperangan itu Jokotole mengendarai Kuda Terbang, pada suatu saat setelah ia mendengar suara dari pamannya (Adirasa), yang berkata "pukul", maka Jokotole menahan kekang kudanya dengan keras dan ia menoleh sambil memukul cemeti (cambuknya) mengenai musuhnya sehingga hancur luluh jatuh berantakan Menurut kepercayaan orang bahwa kapal Dampo Awang tersebut hancur luluh ketanah tepat di atas Bancaran (artinya, bâncarlaan), Bangkalan. Sementara Piring Dampo Awang jatuh di Ujung Piring yang sekarang menjadi nama desa di Kecamatan Kota Bangkalan. Sedangkan jangkarnya jatuh di Desa/Kecamatan Socah. Dan menurut cerita bahwa Sam Poo Tualang tersebut adalah seorang Laksamana Cina yang bernama Cheng Hoo.

4. Sewaktu Sultan Agung memimpin Mataram, Ia menjalankan politik pemerintahan untuk mempersatukan Jawa dan Madura, bahkan ingin mempersatukan seluruh kepulauan Nusantara, agar Kompeni sukar melebarkan sayapnya. Karena itu Sultan Agung kadang-kadang menjalankan politik kekerasan. Dalam tahun 1614 Surabaya ditaklukkakn, demikian pula Pasuruan dan Tuban. Akhirnya dalam tahun 1624, Madura mendapat giliran. Pendekatan yang kurang bijaksana menimbulkan peperangan yang dahsyat. Tentara Madura yang berjumlah 2.000 orang melawan pasukan Mataram yang berjumlah 50.000 orang. Perjuangan Rakyat Madura menunjukkan keberanian yang luar biasa, baik pria maupun wanita maju ke garis depan. Sebanyak 6.000 orang tentara Mataram dapat ditewaskan, tetapi Sultan Agung tidak putus asa, yang gugur segera diganti. Akhirnya Madura dapat ditaklukkan. Satu-satunya keturunan raja Madura yang masih hidup adalah Raden Praseno yang masih belum dewasa. Ia dibawa ke Mataram oleh Sultan Agung dan setelh dewasa dikawinkan dengan salah seorang putri adik Raja Mataram.
Dalam jaman Sultan Agung, Mataram ditakuti oleh Kompeni Belanda, tetapi setelah Amangkurat I berkuasa, Kompeni menjalankan politik pecah belah dan Amangkurat I tidak mempunyai kewibawaan. Pangeran Alit (adiknya sendiri) dicurigai dan diperintahkan untuk ditangkap dan dibunuh. Raden Maluyo ayah dari Trunojoyo juga menjadi korman. Akhirnya juga Cakraningrat I (Raden Praseno), penasehat umum kerajaan menjadi korban pembersihan. Trunojoyo maju ke depan hanya karena terdorong untuk membasmi ketidakadilan, kemungkaran dan anti penjajahan. Bukan kekuasaan dan kedudukan yang menjadi tujuan hidup Trunojoyo, dan ini terbukti waktu mahkota kerajaan Majapahit ada ditangan kekuasaannya. Mahkota ini secara turun-temurun jatuh ketangan raja-raja yang menguasai Jawa. Trunojoyo tidak pernah menempatkan mahkota Majapahit diatas kepalanya, pun juga tidak pernah menamakan dirinya sebagai Sesuhunan. Mahkota yang ada ditangannya dikembalikan kepada Susuhunan, asal saja Susuhunan mau ke Kediri dengan tidak berteman dengan Belanda (artinya : Amangkurat II diminta untuk memutuskan hubungannya dengan Belanda).

5. Dalam abad ke 18 Kompeni Belanda mengadakan pembatasan-pembatasan serta penindasan-penindasan yang makin merajalela terhadap kekuasaan raja-raja dan rakyat Madura, sehingga di Madura Barat telah terjadi suatu perlawanan yang dipimpin oleh Cakraningrat IV. Tetapi perlawanan tersebut dapat dipatahkan karena Kompeni mendatangkan bala bantuan dari Batavia. Cakraningrat IV terus menyingkir ke Banjarmasin, tetapi akhirnya tertangkap pula disana, Cakraningrat IV terus dikirim ke Kaap de Goede Hoop, dan ia meninggal dunia disana pada tahun 1759. Orang Madura memberinya nama Pangeran Sidengkap, karena Cakraningrat IV meninggal dunia di tempat pengasingannya yakni Kaap de Goede Hoop.

6. Dalam masa pemerintahan Jepang, sejak tanggal 18 Agustus 1942, kekejaman tentara Jepang yang menginjak-nginjak nilai dan martabat rakyat Madura, serta keangkaramurkaannyatelah menimbulkan penderitaan yang membebani rakyat, sehingga ada tahun 1943 telah berkobar suatu pemberontakandi Desa Prajan, Sampang yang dipimpin pesantren setempat. Kemudian ia dan serta pemimpin-pemimpin pesantren lainnya ditangkap dan ditembak mati. Akhirnya atas campur tangan Panglima Tentara Jepang (Seiko Sisikan) di Jakarta, mereka yang masih ditahan dibebaskan kembali dan pembantaian lebih lanjut dapat dihentikan.

Dikutip dari :
Buku Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Madura

Pengikut